Oleh: dhanuwangsa | November 23, 2010

ACARA AGAMA HINDU

ACARA AGAMA HINDU

Oleh

Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

Pendahuluan

Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agama adalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.

Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acara agama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya, naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agama yang tampak dominan di Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan diuraikan tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu

Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhanta yang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.

Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagi Bhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. Dalam Jnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Veda mengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.

Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwa bermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut.  Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich, tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).

Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.

Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.

Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan sebagai berikut.

(1)   Tingkah laku atau perbuatan yang baik;

(2)   Adat istiadat;

(3)   Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.

Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.

Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:

nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”

Artinya:

Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.

 

Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāra mengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.

Kedudukan Acara dalam Agama Hindu

Acara agama Hindu sesungguhnya mencakup bidang yang sangat luas terutama berkaitan dengan tradisi ritual. Acara agama Hindu mencakup hal sebagai berikut : (1) ajaran tentang yadnya; (2) ajaran tentang hari-hari suci keagamaan; (3) ajaran tentang tempat suci atau tempat-tempat pemujaan; dan (4) ajaran tentang orang suci (Sudharta&Punyatmadja, 2001).

Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan mengenai acara agama sebagai berikut.

wedo khilo dharma mulam, smrti sile ca tadvidam,

Acara’s ca iwa sadhunam, atmanastutirewa”.

Artinya:

Weda Sruti merupakan sumber utama daripada dharma (agama Hindu), kemudian Smerti, setelah itu Sila, Acara dan Atmanastuti.

 

Weda Sruti adalah Kitab Catur Veda Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad, sedangkan Smerti adalah Wedangga dan Upaweda (Sura&Musna, 1996:26-29). Sila adalah tingkah laku orang-orang suci. Acara adalah tradisi yang bersumber pada sastra atau ajaran-ajaran agama yang telah diikuti secara turun temurun.  Atmanastuti adalah rasa puas diri sendiri yang berdasarkan kesepakatan oleh para pemuka agama. Dengan demikian maka acara agama Hindu memiliki kedudukan yang jelas sebagai salah satu sumber pelaksanaan ajaran agama Hindu.

Acara sebagai kebiasaan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kata drsta. Drsta berasal dari urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau melihat. Kemudian kata ”drsta” memiliki makna konotatif yang bermakna tradisi (Sudharma,2000). Acara atau drsta dibagi menjadi 5 (lima) hal, yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga tertentu saja (Sudharma,2000).

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra sering diberi awalan upa, yang bermakna sekitar, sehingga kata upācāra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian maka ācāra Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen).

Sebagai sebuah sistem religi sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat (1987) maka ācāra Agama Hindu meliputi: (1) adanya emosi keagamaan atau perasaan religius yang mendorong suatu upācāra dilaksanakan; (2) adanya sistem keyakinan yang melandasi suatu upācāra dilaksanakan (tattwa); (3) ada sistem upacara yang ditetapkan sesuai dengan jenis upācāra (eed atau dudonan karya); (4) ada peralatan upācāra yang sesuai dengan tingkatan yajna (nista, madhya, uttama); dan (5) adanya struktur masyarakat sebagai pendukung dari pelaksanaan upācāra tersebut (umat, orang-orang suci, institusi keagamaan, dan sebagainya). Apabila kelima komponen ini telah terpenuhi dalam sebuah upācāra maka secara budaya, upācāra tersebut telah dikatakan berhasil.

Dasar Pelaksanaan Ācāra Agama Hindu

Telah dikemukakan di atas bahwa dasar dari pelaksanaan ācāra Agama Hindu adalah Kitab suci Veda. Dalam kitab suci Catur Veda telah diajarkan tentang pelaksanaan berbagai upacara ritual. Dari mulai upacara persembahan Homa (api suci) yang dilakukan oleh masing-masing keluarga, sampai upacara besar seperti Aswamedha yajna (kurban kuda) dan Sarwamedha yajna (kurban seluruh binatang) telah ditemukan dalam Veda. Kemudian pada zaman Brahmana, kitab-kitab upacara mulai disusun secara sistematis, yaitu mengenai Panca Mahayajna. Kitab terbesar pada masa ini adalah Kitab Satapatha Brahmana yang pada intinya memuat tentang Upācāra dan Upakara yajna.

Kitab Satapatha Brahmana ini tidak diterima secara langsung di Indonesia, tetapi mashab Saiwasiddhanta yang masuk ke Indonesia tetap melaksanakan upācāra yajna dan tetap mengikuti pemikiran mimamsa awal (purwa mimamsa). Berbeda halnya dengan golongan waisnawa yang sudah mulai meninggalkan upacara kurban keagamaan dan beralih ke pemikiran mimamsa akhir (uttara mimamsa atau vedanta). Oleh karena mashab yang berkembang di Indonesia adalah Saiwasiddhanta maka  keberlangsungan upācāra yajna tersebut tetap terjada hingga saat ini. Sari pati yajna sebagaiamana tertulis dalam Kitab Satapatha Brahmana, di tulis kembali dalam lontar-lontar seperti Mpu Lutuk (Plutuk), Sundarigama, Dewa Tattwa, Gong Besi, dan sebagainya yang pada dasarnya juga menguraikan tentang ācāra agama Hindu. Kitab-kitab inilah yang selanjutnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan ācāra Agama Hindu, khususnya di Bali.

Salah satu konsepsi yang digunakan sebagai dasar dari semua pelaksanaan yajna ialah Tri Rnam. Konsepsi ini mengajarkan bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia sesungguhnya telah memiliki tiga hutang yang harus dibayar selama hidup, yaitu hutang kepada Tuhan (Dewa Rnam), hutang kepada Para Maharsi (Rsi Rnam) dan hutang kepada leluhur (Pitra Rnam). Ketiga hutang ini sesungguhnya terkait dengan eksistensi manusia di dunia ini. Keberadaan manusia di dunia ini dan keberlangsungannya (survival) merupakan karya agung dari Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau menciptakan alam semesta beserta isinya melalui sebuah yajna, menjaga dengan yajna, dan mengembalikan semua yang ada dengan yajna pula. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta, termasuk di dalamnya manusia, diturunkanlah pengetahuan suci Veda yang menuntun manusia agar hidup serasi, selaras, dan seimbang dengan alam karena kaharmonisan inilah yang akan membuat manusia survive kehidupannya. Tentunya, turunnya wahyu Veda tidak dapat dipisahkan dari peranan para Maharsi yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi. Melalui proses inilah Para Maharsi menerima wahyu suci Veda dan kemudian mengajarkannya kepada seluruh umat manusia. Selanjutnya, ajaran Veda mengalir dan diterima oleh generasi sekarang karena adanya regenerasi dari para leluhur terdahulu. Proses siklis bahwa setiap yang lahir akan mati, kemudian terlahir kembali menjadi pedoman bahwa setiap generasi hilang dan muncul generasi baru. Oleh karena itu kitab Veda yang masih diterima hingga saat ini dan mungkin juga generasi yang akan datang merupakan keberlanjutan kehidupan manusia dari leluhur-leluhur terdahulu yang dari generasi ke generasi berikutnya melahirkan keturunan yang berkualitas sehingga keberlanjutan pengetahuan suci Veda dan keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri tetap terjaga. Demikian besar hutang manusia terhadap Tuhan, para Maharsi, dan para Leluhur karena beliau-lah eksistensi manusia di dunia ini terpelihara.

 

Panca Mahayajna

Sesungguhnya Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya ini melalui sebuah yajna, memelihara dengan yajna, dan meleburnya juga dengan yajna. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Bhagavadgita sebagai berikut.

“Sahayajnah prajah srstava, puro’vaca prajapatih,

Anena prasavis yadhvam, eso vo’stu istakamadhuk”.

Artinya:

Dengan yajna engkau akan mengembang (srsti), kata Prajapati,

dan ia (yajna) akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

 

Kamadhuk adalah sapi dari Indra yang dapat memenuhi semua keinginan. Selanjutnya dalam pustaka suci yang sama disebutkan bahwa:

“Devam bhavayata’nena,

te deva bhavayantu vah,

Parasparam bhavayantah,

Artinya:

Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.

 

Kedua sloka di atas menegaskan bahwa Alam semesta (bhuwana agung), dan manusia (bhuwana alit) ini diciptakan oleh Prajapati melalui sebuah yajna. Yajna ini pula yang akan memenuhi keinginan manusia sehingga ia dapat tetap eksis di dunia ini. Oleh karena itu yajna juga harus dilakukan oleh manusia karena dengan yajna manusia menghormati para Dewa dan para Dewa akan memelihara manusia. Saat manusia telah mendapat anugerah dari para Dewa, di mana kehidupannya selalu dipelihara dan diselamatkan oleh para Dewa maka itulah kebahagiaan yang maha tinggi. Di sini Bhagavadgita berbicara tentang konsep bhakti, yaitu manusia melakukan yajna untuk berkomunikasi dengan para Dewa, dan atas yajna tersebut para Dewa akan memberikan anugerah kepada manusia. Inilah puncak dari konsep bhakti, yaitu manusa bhakti dewa asih (manusia beryajna untuk mendapatkan kasih Tuhan).

Upācāra dalam rangka pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat digolongkan menjadi lima kelompok besar berdasarkan sasaran dalam pelaksanaannya yang disebut Panca Mahayajna atau sering disebut Panca Yajna. Yajna adalah suatu pengorbanan yang dilandasi oleh hasrat yang suci untuk menguhubungkan diri dengan Tuhan. Kelima jenis korban suci tersebut meliputi:

(1)   Dewa Yajna, yakni korban suci yang ditujukan kepada para Dewa.

(2)   Rsi Yajna, yakni korban suci kepada para Maharsi, dan juga proses untuk menjadi seorang dwijati tergolong dalam Rsi yajna.

(3)   Pitra Yajna, yakni kurban suci untuk menghantarkan roh leluhur mencapai sorga.

(4)   Manusa Yajna, yakni kurban suci untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia.

(5)   Bhuta Yajna, yakni kurban suci untuk memelihara dan memanfaatkan sumber-sumber energi yang ada di alam agar tetap lestari, seimbang, dan harmoni (satyam, sivam, sundaram).

 

(1) Dewa Yajna

Upacara-upacara yang tergolong dalam Dewa Yajna meliputi upacara0-upacara sejak pengadaan hingga pemeliharaan tempat suci. Dimulai dengan pemasangan fondasi (nasarin) hingga penyelesaian bangunan (mlaspas). Disusul dengan upacara penyucian (makarya) melalui beberapa tahapan.

(a)    Tahapan pertama dilakukan upacara penyampaian tekad (Nyanjan/ Matur Piuning) sehubungan dengan akan diselenggarakannya upacara penyucian. Dalam rangka acara tersebut dilakukan juga penentuan Pendeta yang akan berperan menuntun dan menyelesaikan upacara serta para tukang banten yang akan menggarap semua perlengkapan upacara.

(b)   Tahapan kedua dilakukan upacara persiapan dalam bentuk upacara penyucian terhadap bahan perlengkapan upacara, baik yang tergolong eka pramana (tumbuh-tumbuhan) maupun dwi pramana (hewan). Bahan dari tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh/ kekayonan) diwakili oleh beras dalam upacara Negteg Beras atau Ngingsah Beras. Sedangkan dari golongan binatang (sarwa prani/wewalungan) diwakili oleh kurban dalam bentuk upacara mapepada.

(c)    Tahap ketiga setelah bahan perlengkapan upacara diolah menjadi sarana upacara maka dilakukan upacara menjalin hubungan harmonis dengan penghuni alam, baik vertikal maupun horizontal terhadap alam sekitar. Penghuni alam bawah diwakili oleh Para Bhuta Kala dalam bentuk upacara Bhuta Yajna menjelang puncak karya. Hubungan dengan sesama dilakukan dengan upacara mapedanan/Medana-dana. Penghuni alam atas diwakili oleh para Dewa, terutama Ista Dewata dalam bentuk upacara Mendaksiwi.

(d)   Tahap keempat setelah Istadewata di-sthana-kan di tempat suci maka dilakukan upacara penyucian yang bersifat Antropomorfis, yaitu arca, pratima, ”dimandikan” (disucikan) dalam bentuk upacara Melis/Mekiis/Melasti/Malelasti. Umumnya dilakukan di tepi laut karena laut diyakini sebagai sumber air suci. Upacara ini juga dapat dilakukan di sumber-sumber air yang disucikan (pabejian/pasiraman).

(e)    Tahap kelima dilaksanakan kegiatan puncak pada hari upacara (Anambut karya) berupa upacara yang bertema menumbuhkan kekuatan suci (Mamungkah) dalam bentuk mengumpulkan sumber-sumber kekuatan suci (Pangusabhan) serta mengukuhkan kedudukan sumber-sumber kekuatan suci (Ngenteg Linggih).

(f)     Tahap keenam dilakukan upacara penyuburan sumber-sumber kekuatan suci (Ngeremekin). Jika upacara yang dilaksanakan tergolong besar maka disusul upacara pelengkap (Negepang Karya) yang meliputi upacara bertema pertumbuhan (Mekabat Daun), upacara pemenuhan (Ngebekin) dan upacara penyatuan (Ngingkup).

(g)    Tahap terakhir dilaksanakan upacara kunjungan ke tempat kekuatan suci diperlakukan, baik dengan hubungan vertikal (Nyenukin) maupun secara horizontal (Tegal Linggih). Dilakukan juga kunjungan ke tempat kekuatan suci berasal dalam bentuk upacara Nuku dan Mapajati.

Setelah upacara pengadaan tempat suci dilaksanakan maka secara berkala dilaksanakan upacara pemeliharaan sumber kekuatan suci (Ista dewata) yang telah di-sthana-kan di tempat suci ini. Upacara tersebut merupakan upacara peringatan terhadap hari tumbuhnya atau lahirnya (pawedalan/piodalan) tempat suci dan dilaksanakan dengan mempersembahkan berbagai sesajeni(Pujawali). Demikianlah upacara rangkaian Dewa yajna yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan pembuatan tempat suci (pura). Upācāra dalam maknanya sebagai tata cara keagamaan bukan hanya dilakukan dalam prosesi yang besar dan kompleks, tetapi berbagai bentuk tata cara agama yang dilakukan sehari-hari misalnya, sembahyang, maturan, mesaiban, dan lain-lain juga merupakan dewa yajna.

(2) Rsi Yajna

Upacara-upacara yang tergolong dalam Rsi Yajna pada prinsipnya ada dua, yaitu penghormatan kepada orang suci dan prosesi menjadi orang suci. Dalam Agama Hindu yang disebut dengan orang suci adalah Pinandita dan Pandita dengan tingkat penyucian yang berbeda. Pinandita adalah Ekajati yang disucikan lewat upacara Pawintenan, sedangkan Pandita adalah Dwijati yang disucikan lewat upacara Padiksan.

Pertama, penghormatan kepada orang suci dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada Beliau. Dalam agama Hindu di Bali dikenal upacara Rsi Bhojana, yaitu memberikan suguhan makanan kepada para Wiku. Dalam dimensi sosio-religius para Pandita dibebaskan dari kegiatan ayah-ayahan desa, ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap orang suci. Umat yang akan mengundang seorang Pinandita dan Pandita untuk menyelesaikan (muput) sebuah upacara, biasanya menghaturkan Banten Pangoleman, yang pada intinya juga wujud penghormatan kepada orang suci.

Kedua, prosesi menjadi orang suci dibedakan untuk seorang Pinandita/Pamangku, dan seorang Wiku/Pandita. Upacara penyucian untuk menobatkan seorang Pinandita dinamakan upacara Pawintenan. Pada saat mulai belajar dilakukan Pawintenan Saraswati, sedangkan setelah melalui proses belajar dan mulai menjalankan swadharma sebagai Pinandita dilakukan upacara Pawintenan khusus, antara lain Pawintenan di Bunga, Pawintenan Mentah, Pawintenan Ranteng, dan Pawintenan Mahawisesa. Kekhususan pada upacara Pawintenan untuk Pemangku tertentu juga tampak pada jenis lontas yang ditempatkan di sanggar sebagai sarana upacara pawintenan. Misalnya, Pamangku menggunakan Lontar Kusumadewa dan Sangkul Putih, Dalang menggunakan Lontar Dharma Pawayangan, sedangkan Balian menggunakan Lontar Usadha.

Sementara itu, upacara untuk menjadi seorang Dwijati disebut upacara Padiksan atau Mapodgala. Upacara Mediksa dilakukan oleh Guru Nabe yang disebut Napak. Kemudian dilanjutkan dengan upacara Ngelinggihang Puja atau Ngelinggihan Weda, dalam waktu yang telah ditentukan oleh Guru Nabe karena menandakan bahwa sang Wiku/Pandita telah diperkenankan untuk muput karya. Seorang Wiku/ Pandita yang telah Ngelinggihan Puja sudah berwenang melaksanakan Loka Palasraya atau pelayanan kepada umat, baik dalam hal muput karya atau dengan memberikan pencerahan keagamaan.

 

(3) Pitra Yajna

Upacara-upacara yang berhubungan dengan Pitra Yajna sesungguhnya terdiri atas tiga upacara pokok, yaitu perlakuan terhadap mayat, perlakuan terhadap tulang, dan perlakuan terhadap arwah. Upacara terhadap mayat disebut sawa wedana atau lebih populer disebut Ngaben. Upacara terhadap tulang disebut Asti Wedana yang lebih populer disebut Ngasti. Sedangkan pacara terhadap arwah dinamakan Atma Wedana yang lebih populer disebut dengan Nyekah.

Upacara perlakuan terhadap mayat (Sawa Wedana) dimulai dengan upacara Nyiraman Layon (memandikan jenasah), Ngeringkes (membungkus jenazah) dengan upacara sakral dan penuh simbolis sebagai persiapan akan pergi jauh (luas doh) dan diharapkan pada saat kembali akan menjelma menjadi orang yang lebih baik. Kemudian apabila mayat tidak langsung diupacarai dalam sistem Pangabenan maka dilakukan upacara menitipkan mayat, baik dengan cara menanam (Makingsan di Perthiwi) atau membakar (Makingsan di Gni). Karena diawali dengan penitipan maka masa penitipan ini diakhiri dengan upacara Panebusan (Nebusin) sebelum upacara Pangabenan dilaksanakan. Setelah masa penitipan berlaku maka dilakukan upacara Pangabenan yang pembukaannya diistilahkan dengan upacara Ngendag. Selanjutnya dilaksanakan upacara antropomorfis dengan tema utpati, sthiti, dan pralina yang disebut Ngaskara. Upacara Ngaben disudahi dengan upacara pembakaran (Ngeseng).

Upacara terhadap tulang diawali dengan upacara mengambil tulang yang sudah terbakar dengan supit sehingga dinamakan upacara Nyupit. Selanjutnya, tulang-tulang ini diletakkan teratur sesuai dengan pembagian denah yang mewakili tiga bagian tubuh manusia (tri sarira) sehingga upacara ini disebut Ngereka. Kemudian tulang tersebut dihancurkan lalu dimasukkan ke dalam nyuh gading dalam upacara Nguyeg. Setelah berbentuk Puspa Asthi maka kini dilakukan upacara Ngirim yang disudahi dengan membuang abu tulang (Nguncal) sesuai dengan tradisi, baik mengenai tempat pembuangan maupun tata cara dalam rangka pembuangannya.

Setelah upacara Ngaben dan Ngasthi dilaksanakan maka kini dilakukan upacara Nyekah sebagai upacara penyucian Atma (Atma Wedana). Diawali dengan membuat perwujudan atma dengan menggunakan bermacam-macam bunga sehingga upacara ini mendapat nama upacara Nyekah. Perwujudan atma ini dinamakan sekah atau Puspa sarira, sedangkan upacara mewujudkan Puspa Sarira dinamakan upacara Ngajum. Selanjutnya dilaksanakan upacara Ngutpati, Nganyut, dan Nyegara-Gunung. Upacara nyekah menurut tingkatannya ada beberapa macam, antara lain Nyekah, Maligya, Ngeluwer. Setelah semua upacara ini selesai maka puncak dari upacara Pitra Yajna adalah men-sthana-kan arwah (Dewa Pitara) di Sanggah Kemulan yang dikenal dengan nama Ngelinggihang Dewa Hyang. Secara filsafati, pitra yang dipuja di Sanggah Kemulan (rong telu) adalah Dewa Siwa dalam wujudnya sebagai Pitara, atau Siwa Pitaram Rupam.

Dalam kehidupan nyata di dunia ini, upacara Pitra Yajna semestinya tidak hanya dimaknai dengan bentuk upacara kematian. Akan tetapi Pitra Yajna dapat dilakukan pada saat orang tua masih hidup, yaitu dengan memberikan pelayanan, penghormatan, dan membahagiakan kehidupan Beliau. Semua pendahulu yang telah berjasa pada manusia sesungguhnya adalah pitara, yang oleh umat Hindu di Bali disebut Bhatara, patut untuk dihormati.

 

(4) Manusa Yajna

Upacara Manusa Yajna pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia, yaitu dengan menyucikan setiap tahap perkembangan manusia mulai dari proses pembuatan, bayi dalam kandungan, kelahiran, dari perkembangan sampai meninggal.

Upacara perkawinan sebagai langkah awal untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi penting untuk membentuk anak yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang terpenting adalah mekala-kalaan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel telur (swanita). Dengan pembersihan ini diharapkan agar sukla-swanita yang bertemu menghasilkan bibit yang berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan upacara bayi dalam kandungan yang pada prinsipnya membentuk diri sang bayi sehingga menjadi anak yang suputra. Upacara dalam kandungan sampai bayi lahir secara garis besar meliputi, nelubulanin (kandungan berumur 3 bulan), pagedong-gedongan (kandungan berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara rare wawu embas (bayi lahir), kepus pungset (lepasnya ari-ari), tugtug kambuhan (bayi umut 42 hari), nigangsasihin/nyambutin (bayi umur 3 bulan), mapetik (mencukur rambut pertama kali), otonan (bayi berumur 1 oton), tumbuh untu (tumbuh gigi), maketus (gigi tanggal pertama), rajasinga dan rajasewala (laki-laki/perempuan meningkat dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).

Upacara manusa yajna dilakukan secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut dengan otonan. Di samping itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai sesama manusia, memberikan pelayanan terhadap sesama karena melayani sesama manusia sama artinya dengan melayani Tuhan (Manawa Sewa, Madhawa Sewa). Dengan demikian upacara manusia yajna bukan saja berbentuk ritual, tetapi dapat diaplikasikan dalam wujud yang lebih nyata dalam hidup sehari-hari.

 

(5) Bhuta Yajna

”Ikang Bhuta Ngarania Kapujaning ring atuwuh” (yang dimaksud Bhuta Yajna adalah kurban untuk seluruh makhluk hidup). Menurut Lontar Sundarigama tersebut bahwa yang dimaksud dengan Bhuta yajna, bukan hanya terhadap jenis makluk gaib (bhuta kala), melainkan seluruh alam semesta ini untuk menghadirkan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan alam. Oleh sebab itu tergolong dalam upacara bhuta yajna antara lain mecaru (menurut jenis dan tingkatannya), sad kertih (manusa kertih, atma kertih (dilaksanakan dalam upacara Pitra Yajna dan Manusa Yajna), danu kertih, bhuwana kertih, samudra kertih, dan wana kertih), dan semua upacara tumpek (tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek landep, tumpek wayang, dan tumpek kuningan).

Upacara Bhuta yajna yang rutin dilaksanakan di Bali adalah segehan, mulai dari segahan kepel putih dengan lauk bawang, jahe, sampai dengan segahan agung yang menggunakan penyambleh yang pada umumnya berupa siap selem (ayam hitam). Kemudian caru yang berdasarkan jenis dan tingkatannya meliputi Eka sata, Panca sata, Panca sanak, Panca Kelud, dan caru Rsigana. Caru dalam wujud yang lebih besar disebut dengan Tawur. Perbedaannya adalah Tawur selalu menggunakan minimal kebo sebagai wewalungan yang harus dipersembahkan. Tawur menurut tingkatannya meliputi Tawur Balik Sumpah, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama, dan Tawur Eka Dasa Ludra.

Desa Pakraman sebagai Pelaksana Panca Maha Yajna

Pada hakikatnya, semua yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan jalan untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruan aspek Tri Hita Karana ini diimplementasikan dalam kehidupan Desa Pakraman, yang ditandai dengan adanya Kahyangan Tiga.

Wilayah Desa pakraman dibagi dalam tiga wilayah (Tri Mandala), yaitu uttama mandala, madhya mandala, dan nista mandala. Uttama Mandala adalah adanya Parahyangan (Kahyangan Tiga) diyakini sebagai wilayah sakral. Madhya Mandala adalah pemukiman, yaitu wilayah yang berada antara sakral dan profan, sakral ditandai dengan adanya pamerajan, profan karena menjadi tempat aktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah pekarangan, sawah, teba, dan sebagainya, merupakan wilayah profan, tempat manusia melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya. Desa Pakraman sebagai satu kesatuan wilayah parahyangan, pawongan, dan palemahan merupakan wadah pelaksanaan agama Hindu dan kebudayaan Bali, serta menjadi filter bagi masuknya kebudayaan asing.

Oleh karena Desa Pakraman adalah suatu kesatuan adat yang didalamnya mengatur sekelompok masyarakat adat, maka diperlukan aturan adat yang disebut awig-awig. Pada prinsipnya awig-awig desa adat mengatur tiga hal utama, yaitu Sukertaning Parahyangan, Sukertaning Pawongan, dan Sukertaning Palemahan. Dengan demikian jelas bahwa Desa Pakraman bertujuan mewujudkan kebahagiaan krama dengan melaksanakan aturan-aturan yang baik (sukerta) terkait dengan pelaksanaan kegamaaan, kemasyarakatan, dan lingkungan. Dalam hal keagamaan, Desa Pakraman merupakan tempat pelaksanaan Panca Maha Yajna. Dalam hal kemasyarakatan, Desa Pakraman merupakan wadah hidup bermasyarakat, dengan dasar paras paros sarpanaya, sagalak sagilik salunglung sabayantaka. Dalam hal palemahan Desa Pakraman merupakan institusi yang menjaga tetap terpeliharanya konsep Tri Mandala. Mengingat keseluruhan Panca Maha Yajna sebagai identitas keberagamaan Hindu di Bali dilaksanakan dalam kehidupan Desa Pakraman, maka eksistensi Desa Pakraman sangat signifikan bagi Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Gorris, R. 1984. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhatara Karya Sastra

 

Koentjaraningrat. 1986. Sejarah Antropologi I dan II. Jakarta: UI-Press

 

Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.

 

Pendit, Nyoman S, 1994,  Bhagavad Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.

Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar.

 

Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.

 

Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Denpasar: Upada sastra.

—————–. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.

 

Sura, I Gde,dkk.2000. Siwatattwa. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan.

_____________. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan.

 

 

 

 

 

Oleh: dhanuwangsa | November 11, 2010

Keberagamaan Masyarakat Modern

Krisis moral dan tragedi kemanusiaan bersifat universal yang ditandai oleh pengenduran tradisi, norma-norma, hukum, dan tatanan yang telah mapan sudah terjadi pada taraf mencengangkan. Krisis global yang serius ini melanda setiap aspek kehidupan merupakan suatu krisis yang kompleks dan multidimensional, seperti intelektual, moralitas, dan spiritual (Capra, 2004:3). Tragedi kemanusiaan yang bersifat universal ini merupakan refleksi kegelisahan intelektual dan moralitas karena manusia telah dihegemoni dan didominasi oleh pengetahuannya sendiri. Manusia lebih banyak dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sehingga pengetahuan mengatasi kesadarannya (Leahy, 2001:95). Menurut Radhakrishnan (2003:5) krisis semacam ini merupakan era kegelapan intelektual dan barbarisme etik sehingga persoalan rekonstruksi sosial dari sudut pandang idola-idola agama menjadi begitu penting.

Pentingnya rekonstruksi sosial berdasarkan cita-cita agama, juga karena pada masa kini telah terjadi proses dehumanisasi dan degradasi moral (Jacob, 2006:420). Malahan menurut Radhakrishnan (2003:21) telah mencapai stadium akut yang disebabkan oleh ketidakseimbangan perkembangan antara moral dan material. Manusia mengalami perkembangan material menakjubkan bersamaan dengan penurunan kesadaran sosial, yakni perkembangan yang terbatas dalam pengertian etika dan estetika. Berkaitan dengan kondisi ini Mulkhan (2007:65—69) menegaskan bahwa dalam dunia global yang mengalami kemungkaran lingkungan dan dehumanisasi sebagai akibat dari kapitalisme yang hedonis dan materialistik yang menyebabkan pemaknaan berbagai kesalehan sosial yang disumbangkan berbagai kitab suci agama semakin menemukan panggilannya. Radhakrishnan (2003:32) mengingatkan bahwa manusia harus belajar mematuhi kemanusiaan sekalipun terhadap mereka yang tidak berperikemanusiaan; manusia harus rela membiarkan perkembangan pikiran dan moralnya menjangkau jauh ke masa depan dan manusia tidak membiarkan kebencian menutupinya. Dalam konteks ini agama memiliki fungsi penting bagi penataan sistem sosial dan budaya.

Agama dalam kaitannya dengan kebudayaan dan praktik-praktik sosial dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola tingkah laku yang diusahakan oleh masyarakat. Agama digunakan untuk menangani masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan teknologi ataupun teknik organisasi yang diketahuinya (Haviland dalam Kahmad, 2000:119). Kenyataan tersebut ditunjukkan dengan masuknya agama ke dalam wilayah yang pada prinsipnya di luar jangkauannya. Agama telah terlibat dalam pergumulan kehidupan sosial dan kebudayaan termasuk menentukan sistem dunia. Hal ini sebagaimana digambarkan Casanova (2003:xvii) bahwa agama-agama di seluruh dunia memasuki wilayah publik dan kancah politik tidak hanya untuk mempertahankan budaya tradisional mereka, sebagaimana yang telah dilakukan pada masa lalu. Akan tetapi, juga agama-agama berpartisipasi dalam pergumulan itu sendiri, antara lain mendefinisikan dan menentukan batas-batas modern; antara wilayah privat dan publik; antara sistem kehidupan dan kosmos; antara legalitas dan moralitas; antara individu dan masyarakat; antara keluarga, masyarakat sipil, dan negara; dan antara bangsa-bangsa, negara-negara, peradaban, dan sistem dunia.

Fenomena ini menunjukkan bahwa agama dalam konteks sosial dan budaya telah mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu atau masyarakat. Agama juga telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman hidup manusia. Agama bukan hanya mengikat individu dengan Yang Ilahi, melainkan juga manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial (Bleeker, 2004:98; Keene, 2006:6). Agama merupakan satu bentuk legitimasi yang efektif dalam kehidupan sosial dan budaya (Wattimena, 2007:xi). Agama merupakan sesuatu yang bersifat sosial karena representasi religius adalah representasi kolektif yang mengungkapkan realitas kolektif. Keyakinan dan ritual-ritual agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial (Durkheim, 2003:10).

Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi inti dari sistem nilai dalam suatu kebudayaan sehingga agama dapat menjadi pendorong dan pengontrol tindakan anggota masyarakat agar tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Ketika pengaruh agama menjadi kuat terhadap sistem nilai kebudayaan suatu masyarakat, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya (Kahmad, 2000:64). Apabila agama menjadi inti dari kebudayaan suatu masyarakat, maka fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu masyarakat untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Melalui pengalaman beragama (religious experience), yaitu penghayatan kepada Tuhan menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan, kemampuan, dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi (Maman, dkk., 2006:1).

Dengan demikian, agama memiliki daya konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan hidup masyarakat terutama dalam masyarakat tempat  nilai dan norma agama itu diterima dan diakui keberadaannya (Kahmad, 2000:66). Boleh jadi, ini alasan bagi Maman, dkk. (2006:2) mengatakan bahwa pembangunan agama, pembinaan, pengembangan, dan pelestariannya menjadi agenda penting dan niscaya karena agama diakui memiliki peran transformatif dan motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan politik pada masa depan. Apabila bisa disepakati bahwa penegasan Maman tersebut dapat dipahami sebagai himbauan moral, maka untuk memenuhi himbauan moral itu dapat dimengerti sebagai relevansi dan pentingnya diskusi tentang keberagamaan.

Ketika agama dipandang memiliki peran penting dalam penataan sosial, malahan banyak pengamat menilai akan munculnya penolakan terhadap agama dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa depan akan tumbuh sebuah tatanan baru dalam keberagamaan. Kenyataannya modernitas telah mendorong kebangkitan kembali agama, bukan pada agama yang bersifat konvensional atau agama formal. Malahan muncul kecenderungan masyarakat untuk menghindari agama utama yang dianggap mengalami kemapanan dan tidak mampu merespons pencarian spiritual mereka. Kemudian, mereka masuk ke dalam aliran-aliran spiritual, sekte-sekte keagamaan atau kultus-kultus yang menawarkan ritus kontemplatif ekslusif yang memberikan nilai lebih bagi kehausan spiritual mereka. Ini merupakan suatu bentuk kerohanian tanpa agama formal, yaitu keberagamaan yang hanya mengambil dimensi spiritualnya (Robertson, 1998:65; Kahmad, 2000:65).

Ini menunjukkan bahwa pada era modern kehidupan agama tidak mati. Akan tetapi kehidupan agama, baik sebagai sistem keyakinan maupun praktik mengalami reformulasi dengan berbagai cara yang bervariasi. Tidak jauh berbeda dengan keberagamaan orang Bali, Jamil (2008:8) dengan mengacu pada hasil penelitian Greely di Amerika Serikat menunjukkan bahwa bentuk reformulasi kehidupan agama di Amerika Serikat cukup beragam, antara lain juga ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (gerakan New Age). Ini berarti keberagamaan masyarakat modern lebih mengutamakan dimensi spiritualitas daripada religiusitas. Padahal menurut Hardjana (2005:76) agama bersumber pada religiusitas dan disemangati oleh spiritualitas. Pertanyaannya, kenapa masyarakat modern lebih suka bermesraan dengan Tuhan tanpa agama?

I Wayan Sukarma

Oleh: dhanuwangsa | November 11, 2010

PENDIDIKAN UNTUK MANUSIA DEWASA

”Pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan isinya”, demikian pandangan para filosof. Artinya, pembicaraan tentang pendidikan adalah perbincangan mengenai manusia itu sendiri. Perbincangan ini memunculkan beragam pandangan tentang manusia misalnya, manusia itu makhluk dimensional, bahkan multidimensional. Semakin banyak khazanah pemikiran yang hendak mengungkapnya, malahan lebih banyak lagi dimensi manusia yang tenggelam menjadi misteri. Misalnya, menurut Upanisad manusia itu Atman-Brahman dan Rg Veda mengatakan manusia itu seorang musafir, seorang margayayin. Walaupun begitu, manusia tidak berkelana pada ruang-ruang parsial dan temporal (dari satu titik ruang ke titik ruang yang lain). Para guru Vedik mengatakan Jalan (Marga) itu terbentang dari dunia realitas gerak-ke-luar menuju dunia realitas gerak-ke-dalam. Arah proses dunia itu berlangsung dari gerak-ke-luar menuju gerak-ke-dalam. Kehidupan merupakan gerak-masuk-ke-dalam yang harus dan mesti dicapai, sedangkan benak merupakan gerak-masuk-ke-dalam yang dicapai oleh kehidupan manusia dalam proses dunia realitas yang tercerap inderawi. Dengan demikian, yang paling penting adalah proses dunia dari gerak-ke-luar menuju gerak-ke-dalam. Keberhasilan kehidupan merupakan proporsional gerak-masuk-ke-dalam yang diusahakan, baik melalui jalan pengetahuan, jalan penyembahan maupun jalan tindakan.

Kemudian, Bhagavad Gita merinci manusia menjadi dua unsur asali, yaitu azas bendani dan azas rohani. Azas bendani merupakan unsur material dan azas rohani merupakan unsur nonmaterial, yaitu hidup yang menjadi jiwa seluruh makhluk. Rincian ini menegaskan, manusia bukan hanya merupakan realitas fisis-kuantitatif, tetapi juga realitas spiritual-kualitatif. Dimensi fisis-kuantitatif mungkin sudah jelas, tetapi dimensi spiritual-kualitatif manusia tetap tertinggal dalam lambo kesadaran-manusiawi menjadi misteri. Inilah tantangan yang mendorong upaya manusia hendak mengungkap dan memahami dimensi dirinya secara utuh dan menyeluruh. Upaya ini ditujukan bagi perkembangan harkat-martabatnya yang pada hakikatnya merupakan sifat warisan dari sifat Tuhan (seperti sebuah gedung yang kokoh merupakan sifat warisan dari sifat batu yang kokoh membangun gedung itu). Akibat dari sifat warisan ini sudah menjadi persoalan sejak ikatan dua unsur asali dimulai, seperti diterangkan dalam Bhagavad Gita (II:14): ”hubungan sang roh dengan benda-benda jasmaniah menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar”. Kesabaran menerima akibat dari ikatan ini (dharma), bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit, tetapi usaha sadar manusia pada sepanjang eksistensi kehidupannya.

Begitulah manusia senantiasa berusaha mendidik dirinya di dalam dharma. Ia selalu mencoba membangun dan menemukan keselarasan antara pengetahuan dan perilakunya, ngelmu-laku. Manusia berusaha mengikis kemunafikan dan sifat-sifat hipokritnya. Ini menyiratkan, pendidikan merupakan persoalan yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Pendidikan tersebar dalam seluruh kegiatan kehidupan masyarakat manusia dan karenanya seluruh kegiatan kehidupan manusia senantiasa mengandung makna pendidikan. Pendidikan begitu jelas, ketika manusia mulat-sarira tafakur dalam permenungannya; ketika manusia bersama-sama melakukan kegiatan kemasyarakatan; ketika manusia menjalin hubungan berimbang dengan alam; bahkan pendidikan semakin jelas, ketika manusia dalam ibadat mengakui dan menyatakan hubungannya dengan Tuhan. Mengingat pengalaman manusia sepanjang eksistensi kehidupannya bermakna pendidikan sehingga seluruh kegiatan pendidikan berada dalam proses hidup dan perkembangan kehidupan manusia. Jika seluruh pendidikan merupakan persoalan kehidupan manusia, maka persoalan pendidikan juga mencakup seluruh persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Ini menegaskan, tujuan pendidikan juga menjadi tujuan kehidupan manusia.

Cakupan persoalan pendidikan itu menunjukkan, kegiatan pendidikan bukan hanya upaya untuk mengerti dimensi fisis-kuantitatif manusia, tetapi juga memahami misteri dimensi kehidupan spiritual-kualitatif. Memahami misterti ini bukanlah upaya mudah, bahkan kini menjadi semakin tidak mudah karena zaman kemajuan telah mendorong manusia begitu jauh terperosok ke lorong kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi hedonis-materialistik. Dimensi moralitas semakin tertindas di bawah dimensi rasionalitas sehingga dimensi kehidupan spiritual-transendental semakin terabaikan dan terlupakan. Kehidupan hanya memperoleh maknanya pada dimensi kontemporer dan manusia semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok (padahal perkembangan manusia bergerak maju menuju ke masa depan). Pemaknaan kehidupan seperti ini menyebabkan kehidupan terpusat pada kepentingan (dengan mengabaikan kebenaran) dan manusia menjadi titik pusatnya (manusia menjadi pusat jagad raya). Dalam keadaan demikian, manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas segalanya dan karenanya ia memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan potensi alam dan sesamanya. Begitulah manusia terjebak pada sepanjang permainan kepentingan dan kekuasaan yang mendorongnya untuk mengikuti arah kehidupan dari gerak-ke-dalam menuju gerak-ke-luar. Untuk menghindari terlalu jauh keluar dari tujuan hidupnya, manusia perlu lebih erat terlibat dalam kegiatan pendidikan menuju kedewasaan dan kematangan diri.

Dalam kegiatan pendidikan pertumbuhan dan perkembangan manusia didorong menuju kedewasaannya hingga terbentuk kemandirian untuk mengelola kelangsungan kehidupannya. Kedewasaan ini ditandai, antara lain oleh semakin kuatnya fungsi akal untuk membedakan realitas kehidupan menjadi fakta-fakta; semakin meningkatnya kemampuan nalar untuk membangun keterhubungan fakta-fakta kehidupan menjadi pengetahuan bernilai kebenaran (baik abstrak, teoretis, maupun praktis); dan semakin luhurnya kearifan budi untuk memilih fakta-fakta kehidupan sesuai dengan harkat- martabatnya sendiri. Kedewasaan inilah kearifan sehingga manusia dapat menghargai keadilan, menghormati tatanan kehidupan, dan memuliakan kemanusiaannya. Dengan kedewasaannya, manusia berusaha menjaga harmoni kehidupan dalam lingkungan yang memberikannya pengalaman pendidikan. Penghayatan terhadap pengalaman ini menyebabkan manusia mampu menyatu-fokuskan segenap pikiran, perasaan, dan kehendaknya pada kegiatan produktif bagi pengembangan kodrat hidupnya (makhluk ciptaan). Pada gilirannya upaya ini membangun kesadaran tentang rasa-diri-manusia sehingga manusia tidak menganiaya kehidupan karena ia tahu harus melindunginya. Begitulah manusia dewasa secara mandiri bertanggung jawab terhadap pengelolaan kelangsungan kehidupannya. Walaupun kemandiriannya sudah terbentuk, bukanlah berarti manusia berhenti melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan.

Setelah kedewasaannya dicapai, manusia tetap melibatkan diri dalam kegiatan pendidikan menuju kematangan dirinya. Kematangan ini ditandai, antara lain oleh semakin berkembangnya potensi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan intelektual membimbing manusia pada kebenaran, kecerdasan emosional melindungi manusia dalam kebajikan, dan kecerdasan spiritual menuntun manusia menuju keselamatan. Ketiga potensi kecerdasan ini digunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan persoalan-persoalan kehidupan. Dengan semakin berkembangnya ketiga potensi kecerdasan ini manusia sanggup menolong dirinya sendiri dan sesama, mampu menjaga kelestarian alam, dan sujud beriman kepada Tuhan. Begitulah dalam kegiatan pendidikan manusia berusaha menjadikan dirinya semakin bajik dan adil terhadap lingkungan yang menjadi kancah pendidikan itu sendiri. Dalam kegiatan pendidikan manusia berusaha berperilaku arif-berkeadilan terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Upaya manusia mendidik dirinya ini merupakan hakikat kegiatan pendidikan yang didialogkan melalui berbagai model pembelajaran (kehidupan). Dengan pembelajaran manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang bernilai kebenaran. Nilai kebenaran inilah yang menjadi landasan bagi terbentuknya perilaku bajik-berkeadilan dan dengannya masyarakat manusia membangun kebudayaan.

Kebudayaan inilah upaya manusia membangun keterhubungan berimbang dan berkeadilan, baik horizontal maupun vertikal. Secara horizontal misalnya, dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidupnya untuk membangun hubungan secara arif-berkeadilan dengan dirinya sendiri, sesama, alam, dan Tuhan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia berupaya mengembangkan moralitas (dalam rangka pengendalian diri) sehingga ia mampu mengelola kehidupannya menurut azas kecukupan (bukan menuruti keinginan). Azas kecukupan ini mewajibkan, manusia harus mengatur dan mengontrol tingkah lakunya sesuai dengan pengetahuan dan kebutuhannya tanpa mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Upaya mengatur dan mengontrol tingkah laku ini sejalan dengan kodrat manusia yang mewarisi sifat-sifat Tuhan, sat-cit-ananda. Sifat-sifat ini berupa cipta, kemampuan mengerti kebenaran; karsa, kemampuan memahami kebaikan; dan rasa, kemampuan mengapresiasi keindahan. Sifat-sifat warisan ini dijadikan landasan untuk mendirikan filsafat-hidup (pengetahuan universal tentang asal, eksistensi, dan tujuan kehidupan); menentukan pedoman-hidup (pengetahuan tentang prinsip kebenaran untuk mencapai tujuan kehidupan); dan mengatur perilaku-hidup (pengetahuan tentang langkah-langkah kehidupan) searah dengan tujuan-hidup (mencapai kebenaran, kebaikan, dan keindahan).

Begitulah dharma mengikat manusia dalam tindakan sehingga karma tidak bisa dihentikan dan ditiadakan. Walaupun begitu, manusia dewasa-matang tidak terjebak dalam tindakannya sendiri karena ia mengapresiasi karma sebagai proses hidup yang berlangsung dari gerak-ke-luar menuju gerak-ke-dalam. Ia memang berkelana, tetapi bukan dari dunia realitas gerak-ke-dalam menuju dunia realitas gerak-ke-luar. Ia pun sepenuhnya berpetualang pada sepanjang jalan-hidupnya dengan kendali budi, ’sang penentu’ filsafat-hidup, pedoman-hidup, perilaku-hidup, dan tujuan-hidup. Mengingat apresiasi kehidupan manusia sepenuhnya bersandar pada budi sehingga budilah yang menjadi inti dan sumber pendidikan. Dalam budinya manusia mengapresiasi proses hidup dan perkembangan kehidupannya karena melalui budilah manusia menjadi bagian integral dari Budi-Kosmis. Melalui budinya manusia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Mahat Yang Agung. Demikian juga bagi pemikiran Yunani manusia adalah bagian khas dari Logos, yaitu Sang Mahat itu sendiri. Kesatuan Budi inilah yang menjadi tujuan pendidikan dan sekaligus menjadi tujuan kehidupan manusia. Dalam kesatuan Budi, manusia tidak lagi memisahkan dunia-objektif dari dirinya, melainkan dirasakan menjadi miliknya sendiri. Ketika kepemilikan ini dilekatkan ke dalam diri seseorang, ternyata tak ada satupun yang harus dan mesti dicapai. Dengan begitu, manusia merasakan kepenuhan dan menjadi bahagia

post by wayan sukarma

Oleh: dhanuwangsa | Oktober 13, 2010

Kau Bukan Tuhanku

Allah,
rentang masa nan panjang
dalam denyut nadi dan detak jantungku

 

Kau Yang Maha Esa adalah Tuhanku,
Kau Yang Maha Pengasih adalah Tuhanku,
Kau Yang Maha Penyayang adalah Tuhanku,
Kau Yang Maha Segalanya adalah Tuhanku,

 

dari tutur moyangku
kuterima suci lisannya,
dan kukira Engkau Tuhanku
nyatanya…,
Kau tidak lebih dari sebuah dusta

 

walau Dikau punya sembilan puluh sembilan nama,
atau bahkan sejuta nama,
Kau tetap sebuah kedustaan

 

walau Kitab SuciMu bertutur tentang DiriMu,
Kau tidak lebih dari sebuah label

 

 

walau Dikau bertutur tentang DiriMu,
KalamMu yang suci tetap berjarak dengan realitas
Kau hakikatnya tak lebih dari Tuhan palsu

 

Kau ’tlah menyampahi ketauhidanku
ku tak sudi menyembahMu
kuabaikan keTuhananMu

 

maafkan aku
kini, kutinggalkan DiriMu

Puji syukur aku haturkan atas ijin”Mu”
’tuk tinggalkan Tuhan yang terbatas itu
kuhaturkan sembah sujud atas ridho”Mu”
’tuk lampaui Tuhan pikiran

 

Alhamdulillah,
aku telah bebas dari penjara syari’atMu
hatiku terbebas dari belenggu pikiran Si Tuhan Palsu

 

kini,
jalan lempang spiritual ’tlah terbuka lebar untukku
pintu”Mu” tlah terbuka lebar untukku
Mom,” I’m coming home…
I’m coming home…
I’m coming home…


 

Iwan Triyuwono (*)
Jakarta, 5 Desember 2007

Prof. Iwan Triyuwono, Ph.D.,
Ketua Program Doktor Ilmu Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya
posted by : wirajhana-eka.blogspot.com
Oleh: dhanuwangsa | Oktober 10, 2010

KONSTRUKSI IDENTITAS HINDU BARU DI JAWA

KONSTRUKSI IDENTITAS HINDU BARU DI JAWA

Oleh : Nanang Sutrisno

I    PENDAHULUAN

Sebagaimana telah disepakati oleh kalangan Sejarawan bahwa Hindu adalah agama pertama di Indonesia yang datang dari India sejak tarikh awal Masehi. Kemudian pada abad ke-4 masehi telah muncul kerajaan Hindu pertama di Indonesia, yaitu Kutai. Dalam kurun waktu berikutnya agama Hindu menyebar dan mencapai puncak kejayaannya di Jawa. Di Jawa Barat mulanya hadir kerajaan Hindu, yaitu kerajaan Tarumanegara dan Padjajaran, kemudian di Jawa Tengah ada Mataram Kuno, dan di Jawa Timur perkembangan Hindu selalu dikaitkan dengan Kerajaan Kadiri, Singhasari, dan Majapahit. Puncak-puncak kemegahan dan kejayaan kerajaan Hindu di masa lalu masih tampak dengan adanya peninggalan-peninggalan arkeologi, khususnya candi-candi yang tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa.

Namun demikian, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Agama Hindu pada akhirnya, juga mengalami kemunduran di persada nusantara ini. Keruntuhan Majapahit yang juga menandai kemunduran Agama Hindu-Buddha di Jawa lazim ditandai dengan candra sengkala “sirno ilang kertaning bumi” yang bermakna hilang musnahnya kebahagiaan dunia. Akan tetapi, rumusan candra sengkala ini digunakan untuk menunjukkan persandian angka tahun, yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Berbagai gejolak politik yang terjadi di Majapahit, seperti perang Paregreg, dan mulai berkembangnya Malakka sebagai kota dagang dan pelabuhan penting yang telah beragama Islam, serta telah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit menjadi faktor utama penyebab runtuhnya kekuasaan Majapahit (Soekmono, 1981: 75). Semetara itu, di Jawa diperparah lagi dengan gerakan aktif para wali dalam penyebaran agama Islam, serta gerakan politik Kerajaan Islam Demak yang akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Majapahit.

Keruntuhan Majapahit, penyebaran agama Islam, dan berdirinya kerajaan Islam Demak menjadi tonggak sejarah peng-Islam-an tanah Jawa, bahkan di seluruh nusantara.  Kemudian bagi umat Hindu yang masih ingin mempertahankan ke-Hindu-annya, mengasingkan diri ke berbagai pedalaman seperti Tengger, dan sebagian lagi ke Bali karena kerajaan Bali masih tetap eksis sebagai kerajaan Hindu. Sebaliknya, yang tidak mau meninggalkan tanah Jawa mereka masuk agama Islam dengan tetap melaksanakan beberapa tradisi Hindu, misalnya ritual, mistis, atau juga disebut kejawen. Komunitas Islam semacam inilah yang kemudian disebut dengan Islam Abangan oleh Clifford Geertz dalam bukunya “The Religion of Java” (1960). Kaum abangan dimaknai sebagai golongan masyarakat yang beragama Islam yang hanya namanya saja karena pada umumnya tidak melaksanakan syariat Agama Islam dengan patuh (Badudu-Zein,1994:1). Di samping itu, kalangan priyayi di Surakarta dan Yogyakarta, tampaknya juga menjadi bagian penganut Islam yang mendukung berlangsungnya tradisi kejawen hingga saat ini. Hindu Tengger, Hindu Bali, dan kejawen, menjadi tiga museum hidup yang dapat digunakan untuk melacak kembali Hinduisme Jawa di masa lampau, di samping artefak-artefak kebudayaan lainnya.

Dalam tiga dasa warsa terakhir ini, agama Hindu mulai tampak menyebar di tanah Jawa. Awal penyebarannya tidak dapat dilacak dengan pasti, tetapi dari komunitas-komunitas Hindu yang muncul di beberapa daerah dapat dianalisis proses penyebarannya. Pertama, tumbuhnya kesadaran dari beberapa tokoh kejawen untuk kembali kepada agama atau kebudayaan leluhur, yang diidentikkan dengan Hindu-Buddha. Kebangkitan Hindu Jawa, juga sering dihubungkan dengan jangka (ramalan) tokoh mistis Sabdopalon dan Noyogenggong yang termuat dalam beberapa kesusasteraan Jawa; kedua, Hindu menyebar di tanah Jawa karena pengaruh orang Bali yang datang ke Jawa, baik dalam hubungannya dengan transmigrasi maupun karena tugas dinas atau tugas belajar; dan ketiga, berdirinya Parisada Dharma Hindu Bali sebagai embrio Parisada Hindu Dharma Indonesia, yang diikuti dengan diakuinya Hindu sebagai salah satu agama resmi di Kementerian Agama Republik Indonesia, mendorong umat yang ingin memeluk Agama Hindu segera beralih agama karena telah Hindu telah diakui secara resmi dan dilindungi oleh negara (Sutrisno, 2006). Berbeda dengan ini, Andrew Beatty (2001) dalam penelitiannya tentang umat Hindu di Banyuwangi menyatakan bahwa salah satu faktor berkembangnya Hindu di Banyuwangi adalah gejolak politik yang terjadi pada tahun 1965. Muslim nominal yang mayoritas pendukung Partai Nasional Indonesia (PNI) banyak beralih ke agama Hindu-Bali karena tekanan politik orde baru, juga karena banyaknya kesamaan tradisi Hindu-Bali dengan kepercayaan kejawen yang mereka laksanakan selama ini.

Pemeluk agama Hindu yang muncul belakangan inilah yang ingin dimaksudkan sebagai “Hindu-baru” di Jawa. Istilah ini bukan bermakna bahwa Agama Hindu adalah agama baru bagi orang Jawa, atau munculnya paham Hindu baru di Jawa, tetapi merujuk pada fenomena kebangkitan kembali Agama Hindu di Jawa dari tidur panjang selama 500 tahun lamanya. Setidak-tidaknya, apabila keruntuhan Majapahit dipandang sebagai awal lenyapnya agama Hindu di Jawa maka sejak itu pula orang Jawa tidak lagi mengenal ajaran-ajaran Agama Hindu, meskipun dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan. Sebaliknya, telah ada ajaran-ajaran lain khususnya Islam yang mengisi kekosongan rohani orang Jawa. Neils Mulder (2007: 112), mencontohkan misalnya, kata-kata Arab seperti lahir, sarengat, sujud, tarikat, hakikat, mulai digunakan untuk melukiskan kegiatan-kegiatan mistik kejawen. Jadi,  Hindu tidak pernah baru atau lama karena Hindu adalah kebenaran abadi (sanatana dharma). Demikian halnya Hindu tidak pernah hilang di tanah Jawa.

Dengan bermunculannya beberapa komunitas Hindu hampir di seluruh daerah di Jawa, persoalan identitas religius menjadi hal yang penting untuk dibicarakan. Sebagai sebuah identitas baru, Hindu Jawa sedang menghadapi berbagai persoalan dinamika internal, yakni dari penganut Hindu sendiri maupun dari konversi agama resmi lainnya. Dari dalam penganut Hindu sendiri, setidaknya ada tiga wacana yang berkembang, yakni Indianisasi, kolonisasi budaya Hindu-Bali, dan kembali ke Jawanisme mainstream. Sebaliknya, pengaruh dari agama resmi lainnya terutama adalah Islamisasi dan Kristenisasi.

Ketiga dinamika internal ini bergulat dalam tubuh umat Hindu di Jawa dan tidak jarang menimbulkan riak-riak kecil, bahkan menjurus pada perpecahan yang lebih besar. Ditambah lagi dengan gerakan Islamisasi dan Kristenisasi, benar-benar menjadikan umat Hindu Jawa berada dalam keterkepungan dari persaingan institusi keagamaan, di samping persoalan-persoalan internal yang dihadapi. Hal ini penting mendapatkan perhatian yang lebih serius karena akan sangat berbahaya bagi keutuhan umat Hindu di Jawa. Jangan sampai Hindu yang sudah kecil (secara kuantitas), bercerai berai hanya karena pertentangan identitas fisik dan atribut-atribut religius, dan sebaliknya kehilangan kedalaman spiritual sebagai esensi Hinduisme. Untuk itu diperlukan kontruksi identitas Hindu-Baru di Jawa yang dapat mewadahi seluruh kepentingan umat Hindu sehingga terbangun jati diri ke-Hindu-an yang kuat.

II   HINDU JAWA : SEBUAH DIALEKTIKA KEBUDAYAAN

Sejak masuknya Hindu ke Indonesia dan dalam perkembangannya, Hindu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Hal ini dapat dibuktikan dari evolusi agama Hindu yang terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Hindu nusantara. Agama Hindu yang datang dari India tidak serta merta merubah watak, perilaku dan pandangan hidup orang Indonesia karena Hindu tidak pernah memaksakan ajarannya agar selalu dilaksanakan sama persis seperti di tanah kelahirannya, India. Oleh sebab itu penting melihat Hindu Jawa sebagai sebuah dialektika kebudayaan.

Pandangan dialektis berpendapat bahwa kebudayaan lokal telah memiliki kemampuan dan posisi yang sama kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan yang datang dari luar sehingga proses lahirnya kebudayaan baru terjadi dalam proses dialogis yang panjang (Utama, 2003). Hal ini misalnya, terjadi pada proses pertemuan antara tradisi Veda (Arya) dengan budaya lembah sungai Sindhu (Dravida) yang akhirnya melahirkan Hindu di India (R.C. Majumdar, 1998). Pertemuan antara bentuk-bentuk kepercayaan asli Indonesia dengan Agama Hindu yang datang dari India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia. Proses interaksi ini terjadi secara alkulturatif, dimana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria,2000). Kemampuan kebudayaan lokal inilah yang dikenal dengan local genious yang pertama kali diperkenalkan oleh Quarich Wales untuk mendeskripsikan kemampuan budaya setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan itu berhubungan (Magetsari, 1986). Hal ini sejalan dengan pernyataan Soekmono (1973) bahwa masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Artinya, kebudayaan Indonesia ketika terjadinya proses alkulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang kuat sehingga mampu beradaptasi dan tidak terjadi dominasi.

Kontak awal masuknya kebudayaan Hindu ke tanah Jawa menandai bertemunya dua kebudayaan, yaitu kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Hindu yang datang dari India. Beberapa bukti artefaktual, misalnya bentuk bangunan suci Hindu di Jawa (Candi)  menunjukkan bahwa kebudayaan India tidak mendominasi kebudayaan asli Jawa, melainkan terjadi asimilasi yang indah antara keduanya. Local genious Jawa menjadi kekuatan penyaring masuknya budaya Hindu India sehingga Hindu di Jawa hidup sejalan dengan kebudayaan asli orang Jawa dan menjadikannya sebagai agama Hindu yang khas dan berpenampilan beda dari tanah kelahirannya, India. Proses dialektika ini rupanya berlangsung terus-menerus dalam perkembangan agama Hindu di seluruh nusantara sehingga Hindu nusantara menampakkan diri sesuai dengan karakter lokal masing-masing daerah. Hindu Jawa, Hindu Bali, Hindu Kaharingan, Hindu Dayak, dan lain sebagainya menjadi karakter-karakter khas Hindu nusantara yang jauh dari kesan uniformalitas.

Dalam hubungannya dengan agama asli Indonesia, Rahmat Subagya (1981:6) menyimpulkan bahwa agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Dia mengatakan bahwa Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli, dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia dimana ia masih samar-samar. Artinya, agama Hindu yang datang ke Indonesia diterima oleh masyarakat dan berintegrasi dengan kepercayaan asli untuk menyempurnakan pandangan hidup dan rohani mereka. Sejalan dengan ini Sura (2005) mengatakan bahwa sagama Hindu “mempermulia” kepercayaan asli di mana ia tumbuh dan berkembang.

Sebelum masuknya Hindu ke tanah Jawa, orang Jawa telah memiliki bentuk-bentuk kepercayaan asli Jawa. Bentuk kepercayaan asli Jawa ini dapat dijadikan petunjuk awal bagaimana ajaran tantra dapat hidup dan berkembang di Jawa. Pertama, kepercayaan terhadap adanya alam kehidupan setelah mati. Kedua, kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu keyakinan terhadap adanya daya-daya gaib pada benda-benda yang ada di alam. Kepercayaan ini menjadi bibit lahirnya tindakan-tindakan magis dan mistis, yakni saat manusia ingin mendapatkan daya-daya gaib tersebut. Ketiga, konsep tentang pola ruang kosmis (keblat papat lima pancer) bahwa ruang dibagi atas empat dan satu sebagai pusat. Pola ruang primordial ini dapat berkembang menjadi pola delapan (Hindu: Astadala) dalam wilayah yang lebih luas. Keempat, kepercayaan terhadap ruang dan waktu relatif yang bersifat dualistik (binary oposition), seperti sakral-profan, gunung-laut, siang-malam, absolut-riil, dan sebagainya. Melalui perkawinan kosmis kedua polarisasi ini diharmoniskan, direkonsiliasi, disatukan maka semua akan kembali ke yang Tunggal, yang Absolut (Sumardjo, 2002: 10 – 26). Kepercayaan-kepercayaan inilah yang menjadi jenius lokal masyarakat Jawa dalam menerima kebudayaan India sehingga agama Hindu yang datang dari India ditransformasikan atau diintegrasikan sesuai dengan karakter Jawa.

Demikianlah kearifan Hindu dalam proses penyebarannya ke seluruh nusantara sehingga tidak pernah sekalipun ditemukan bukti bahwa Hindu menimbulkan kekacauan dalam kontak kebudayaan dengan masyarakat pribumi. Harmonisasi ini tidak saja terjadi dalam tataran kebudayaan, melainkan juga dalam keberagamaan Hindu nusantara di masa silam. Sejak zaman Mataran Kuno (sekitar abad ke-6 M), kesusasteraan Hindu berkembang pesat di tanah Jawa dan itu pun ditulis kembali ke dalam bahasa Jawa Kuno sehingga agama Hindu benar-benar dibumikan dalam kehidupan masyarakat. Abad ke-10 menandai kemegahan besar dalam kontak budaya Hindu-Nusantara, di mana Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa mengumandangkan perintah besar untuk “mengjawaken byasa mata” (membahasajawakan ajaran Maharsi Wyasa) sehingga sastra-sastra Hindu dapat dibaca dan diwarisi hingga sekarang.

Uraian di atas menunjukkan bahwa orang Jawa memiliki kemampuan selektif, adaptif, dan kreatif dalam menerima kebudayaan dari luar. Jenius lokal ini telah terbukti mampu menransformasikan Agama Hindu India ke dalam kebudayaan Jawa sehingga ajaran agama Hindu benar-benar membumi dan sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa. Selanjutnya, sikap selektif, adaptif, dan kreatif ini perlu dikembangkan oleh umat Hindu di Jawa ketika berhadapan dengan kebudayaan yang datang dari luar sehingga proses dialogis terjadi secara terus-menerus. Dengan cara ini, umat Hindu di Jawa tidak mesti cepat-cepat menolak atau menerima berbagai ajaran yang datang, baik dari India, Bali, atau pun varian-varian Hindu lainnya. Semua yang datang mesti diseleksi dengan ketat sesuai dengan kepribadian orang Jawa, diadaptasikan dengan budaya Jawa, dan sedapat mungkin ditransormasikan sebagai bagian yang utuh dalam membangun identitas Hindu Jawa. Dengan demikian proses konstruksi identitas berlangsung terus-menerus dengan pembaharuan-pembaharuan dan tetap mengutamakan keseimbangan (uquilibrium) di tubuh umat Hindu.

III  KONSTRUKSI IDENTITAS HINDU BARU DI JAWA

Pada hakikatnya, agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya, dan dengan alam lingkungannya (Suparlan, dalam Robertson, 1998:v; dan Kahmad, 2000:12). Dalam tataran ideal, agama bersifat sangat individual karena memberikan kebebasan setiap individu untuk mengekspresikan aktivitas religiusnya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Namun dalam kenyataannya, agama telah memasuki wilayah sosial budaya karena agama telah mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu atau masyarakat dan agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman hidup manusia. Dalam konteks ini agama dirumuskan dengan ditandai oleh tiga corak pengungkapan universal. Pengungkapan teoretis berwujud kepercayaan (believe system); pengungkapan praktis sebagai persembahan dan ibadah (system of workship); dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat (system of social relation) (Maman, 2006:1). Malahan, dalam praktiknya lebih jauh agama telah berkoalisi dengan kekuasaan sehingga praktik-praktik keagamaan harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh penguasa.

Salah satu bentuk campur tangan kekuasaan dalam menentukan keberagamaan seseorang adalah formalisasi agama di Indonesia, bahwa setiap warga negara harus memeluk satu di antara enam agama yang secara sah diakui oleh pemerintah. Meskipun pemerintah berkilah bahwa peran serta pemerintah dalam mengatur lalu lintas keagamaan bertujuan untuk meminimalisir terjadinya konflik horizontal antaragama, tetapi ekses-ekses negatif, seperti diskriminasi minoritas dan terberangusnya agama-agama lokal tak terhindarkan lagi. Di samping itu, formalisasi agama telah mengkotak-kotakkan masyarakat dalam kelompok-kelompok berdasarkan atas agama yang dianutnya. Secara mekanis perbedaan agama ini akan mendorong masing-masing kelompok untuk mengukuhkan identitasnya masing-masing. Dengan kata lain, perbedaan agama menjadi bagian dari proses konstruksi identitas, di mana peranan penguasa begitu menentukan.

Identitas merupakan ekspresi eksistensi budaya suatu kelompok. Identitas sebuah etnik misalnya, dapat ditentukan oleh faktor-faktor material budaya, seperti makanan, pakaian, perumahan, peralatan, dan faktor-faktor nonmaterial seperti bahasa, adat istiadat, kepercayaan, cara berpikir, sikap dan lain-lain (Liliweri, 2005: 48). Akan tetapi, Identitas budaya tidak datang sendiri, tetapi dibentuk atau dibangun, buah interaksi dinamis antara konteks (dan sejarah) dan construct, maka sifatnya situasional dan bisa berubah, disusun dalam hubungannya dengan sejumlah other (yang lain). Mengikuti definisi ini, maka identitas agama merupakan ekspresi religius dari suatu kelompok yang dibentuk atau dibangun melalui sebuah proses yang terus-menerus menjadi. Selanjutnya, identitas ini menentukan keberbedaan suatu kelompok dengan kelompok lainnya dalam suatu masyarakat yang multikultur/ multiagama.

Demikian halnya dengan Hindu Jawa yang menjadi bagian kecil di antara bagian besar masyarakat Jawa yang mayoritas Islam beragama perlu terus-menerus mengkonstruksi identitasnya. Identitas ini di satu pihak harus mampu memelihara warisan-warisan tradisional dan di lain pihak, sekaligus mampu mendorong ke arah kemajuan dan modernisasi (Dharmaputra, 1984: 6). Tujuannya jelas adalah untuk mengukuhkan jati dirinya sehingga tidak mudah tergoyahkan dengan datangnya berbagai –isme/paham baru, termasuk di dalamnya konversi agama. Identitas ke-Hindu-an ini perlu dibangun sedemikian rupa sehingga setiap umat Hindu merasa betah dan nyaman menjadi Hindu sehingga tidak muncul fenomena ketakberumahan (homeless) dalam istilah Peter L. Berger.  Pindah agama – konversi internal, yaitu berpindah kepada bentuk spiritual lain yang masih dalam satu agama, maupun konversi eksternal, yaitu berpindah ke agama resmi lainnya – merupakan bentuk nyata dari ketidakbetahan atas rumah sosialnnya, dalam hal ini agama yang dianutnya.

Dalam rangka konstruksi identitas Hindu Jawa, tampaknya persoalan internal dalam tubuh Hindu cukup mendasar untuk diselesaikan lebih dahulu. Adanya tiga arus pemikiran utama yang berkembang dalam Hindu Jawa, yaitu Indianisasi, Kolonisasi Budaya Bali, dan Gerakan Jawanisme mainstream, menjadi tantangan yang mesti dicarikan jalan keluarnya.

Indianisasi, dapat dimaknai sebagai pemikiran Hindu India yang dibawa oleh orang-orang Jawa atau Bali yang telah menganut salah satu sekte Hindu dari India dengan penekanan pada pelaksanaan ajaran agama Veda (tanpa kepastian Veda yang mana), dengan menggunakan tradisi-tradisi India, misalnya menyanyikan lagu-lagu rohani (bhajan), agni hotra, dan upacara lain yang kental nuansa India di dalamnya.

Kolonisasi budaya Hindu-Bali, dimaknai sebagai upaya menggunakan budaya Hindu-Bali dalam pelaksanaan ritual Hindu di Jawa. Hal ini diduga karena adanya beberapa faktor misalnya, banyaknya orang Bali yang menduduki jabatan penting di Parisada Hindu Dharma Provinsi atau Kabupaten di Jawa, sehingga banyak menentukan berbagai macam kebijakan di bidang keagamaan khususnya berkaitan dengan pelaksanaan ritual. Di samping itu, para pendharmawacana banyak didatangkan dari Bali sehingga seringkali mereka mengajarkan agama Hindu sebagaimana yang mereka laksanakan di Bali. Kemudian faktor lain adalah bahwa perguruan tinggi Hindu pada awalnya hanya ada di Bali, yaitu Institut Hindu Dharma yang banyak melahirkan sarjana-sarjana agama Hindu di Jawa yang dididik secara Bali. Para sarjana ini ada yang berusaha menggali kebudayaan Jawa dan menemukan Hinduisme di dalamnya sehingga mampu mengajarkan Hindu dengan budaya Jawa, tetapi ada juga yang hanya menerima begitu saja pelajaran yang didapatkan dari Bali termasuk tradisi ritual di Bali sehingga ketika di Jawa mereka turut mengembangkan agama Hindu dengan tradisi upacara seperti di Bali.

Dan, gerakan Jawanisme mainstream, dapat dimaknai sebagai pemikiran Hindu yang benar-benar lahir dari para pemikir Hindu di Jawa sendiri. Kebanyakan dari mereka ingin menjalankan agama Hindu dengan budaya Jawa, dan secara ekstrim menolak budaya-budaya yang lain, terutama budaya Bali dan budaya India.

Menyikapi ketiga persoalan di atas, semestinya umat Hindu di Jawa mampu menggunakan kemampuan selektifnya untuk menyaring inti-inti pemikiran dari ketiganya, sebab ketiganya memiliki kebenarannya masing-masing dan sama-sama menggunakan Veda sebagai referensi otentiknya. Selanjutnya, proses adaptif perlu dilakukan sehingga setiap pemikiran yang diambil dapat diterima dan dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan nir-konflik. Akan menjadi kebanggaan dan pertanda kemajuan apabila pemikiran Hindu yang datang dari luar itu mampu ditransformasikan ke bentuk kebudayaan di masing-masing komunitas sehingga menjadikan warna baru bagi umat Hindu di Jawa. Perlu dimengerti bahwa Hindu tidak menginginkan adanya keseragamaan, melainkan keberagaman sejauh tidak bertentangan dengan isi ajaran Veda. Misalnya, seni bleganjur di Bali, berhasil ditransformasikan menjadi kesenian khas Banyuwangi dan itu digunakan untuk mengiringi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.

Sebaliknya, untuk mengatasi terjadinya konversi agama ke agama lain maka perlu digali persoalan mendasar atau faktor utamanya. Mengikuti pendapat Triguna (1990:30-33) bahwa ada tiga aspek penting dalam proses transformasi sosial, yakni pendidikan, ekonomi, dan komunikasi. Setuju atau tidak, ketiga hal ini merupakan persoalan besar dalam pengembangan sumber daya umat Hindu di Indonesia. Sementara agama lain, khususnya Islam dan Kristen harus kita akui telah begitu mapan dalam tiga bidang ini. Apabila ketiga hal ini dipandang sebagai penyebab mendasar terjadinya pindah agama maka ketiganya perlu diberdayakan oleh umat Hindu. Setidak-tidaknya, melalui jalan pemberdayaan pendidikan, ekonomi, dan komunikasi maka umat Hindu akan memiliki modal intelektual, modal ekonomi, dan modal budaya yang kuat dalam dirinya sehingga mampu menghadapi tantangan ke depan.

Meminjam istilah Koentjaraningrat (1987) tentang sistem religi, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa identitas umat Hindu adalah orang yang meyakini ajaran agama Hindu, melaksanakan sistem peribadatan secara Hindu, menggunakan peralatan ritual Hindu, dan memiliki lembaga-lembaga keumatan yang berbasis Hindu. Komponen-komponen religi tersebut seluruhnya telah terangkum dalam tiga kerangka agama Hindu, yaitu tattwa (sistem keyakinan/ panca sradha), susila (sistem tindakan/ etika/ budi pekerti), dan acara (sistem ritual/ upacara dan upakara). Dengan demikian identitas umat Hindu dapat dibangun di atas tiga kerangka agama ini.

Tatwa misalnya, pada hakikatnya adalah berbicara mengenai sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan kembalinya semua ciptaan). Filsafat sangkan paran inilah yang kemudian diulas secara lebih terperinci dalam Panca Sradha (lima dasar keyakinan Hindu), yakni mulai dari Widdhi Sraddha (asal mula segala yang ada/ sangkaning dumadi), hingga Moksa Sraddha (tujuan akhir, kembalinya segala yang ada/ paraning dumadi). Prinsip Tattwa ini sesungguhnya tidak ada bedanya dengan kepercayaan kejawen, bahkan perlu kembali diingat bahwa Tattwa Saiwa Siddhanta adalah berasal dari Jawa.

Tema-tema utama Panca Sradha seluruhnya menjadi bagian penting dalam pembahasan Mistisisme Jawa (Kejawen), antara lain :

(1)     Dari mana asal mula dan kembalinya segala yang ada (sangkan paraning dumadi);

(2)     Siapa sesungguhnya manusia, yaitu tentang hakikat sang diri (sapa sejatining ingsun);

(3)     Bagaimana manusia menjalani kehidupannya di dunia ini, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan manusia lain (budi pakarti);

(4)     Apa yang terjadi setelah kematian, ke mana roh akan pergi, reinkarnasi; (tumimbal lahir atau panitisan); dan

(5)     Kemenyatuan manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti).

Demikian halnya dengan kerangka yang lain, susila dan acara, perlu digali kearifan-kearifan budaya Jawa yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Persoalan yang kerap muncul di dalam umat Hindu di Jawa terutama adalah berkenaan dengan Acara agama. Acara Agama sesungguhnya mencakup aspek yang sangat luas, di antaranya Panca Yadnya, Tempat Suci, Orang Suci, dan Hari-hari  Suci keagamaan. Acara agama sering menjadi topik pembicaraan yang dibenturkan antara Jawa dengan Bali. Semestinya hal ini tidak perlu terjadi mengingat apa yang dilaksanakan di Bali pada dasarnya telah sesuai dengan sastra-sastra suci, seperti Tutur Gong Besi, Dewa Tattwa, Widdhi Tattwa, Plutuk Bebantenan, dan sebagainya. Sebaliknya, Jawa juga memiliki beraneka macam tradisi ritual dari mulai tingkat yang terkecil hingga yang terbesar sebagaimana dilaksanakan oleh Kraton Surakarta dan Yogyakarta, termasuk juga Pakelem Kerbau yang dilaksanakan oleh masyarakat Tengger.  Di lain pihak, Acara Agama Hindu memiliki tingkatannya masing-masing dari nista, madya dan utama, yang pada dasarnya memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melaksanakan ritual keagamaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dengan demikian peranan kecerdasan lokal dalam mengejawantahkan ajaran-ajaran Agama Hindu perlu dikembangkan sehingga upacara yang dilaksanakan sesuai dengan pengetahuan yang umat miliki. Hal ini mengingat bahwa yang utama dari sebuah upacara atau persembahan adalah untuk menggetarkan emosi keagamaan dalam diri penganutnya sehingga rasa keiklasan, ketulusan, dan kesucian sebagai inti yadnya dapat menyentuh naluri terdalam manusia. Melalui jalan inilah rasa kemenyatuan dengan Tuhan akan dapat dirasakan. Pendek kata, kearifan lokal menjadi kata kunci dalam konstruksi identitas Hindu di Jawa sehingga umat Hindu di Jawa tidak tercabut dari akar tradisinya.

Dengan terbentuknya identitas Hindu Jawa tidak bermakna bahwa Hindu Jawa akan menjadi kelompok ekslusif di antara kelompok-kelompok yang lain. Justru, keberadaan umat Hindu yang membaur dengan umat beragama yang lain menuntut agar umat Hindu senantiasa menghargai keberlainan itu (the otherness) dengan menjunjung tinggi kebebasan hak masing-masing individu dan kelompok lain dalam menjalani kehidupannya. Melalui tindakan saling menghargai inilah dapat tercipta hubungan yang harmonis, berkeseimbangan dan berkeadilan di antara kelompok mayoritas dan minoritas. Apabila distingsi mayoritas dan minoritas ini telah mampu dihilangkan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara maka kenyamanan dalam melaksanakan ibadah dan kedamaian masyarakat niscaya akan terwujud. Inilah poin penting dari identitas, yaitu untuk mengekspresikan keyakinan religius di tengah-tengah kehidupan multibudaya dalam koridor multikulturalisme.

IV SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, identitas Hindu Jawa bukanlah sesuatu yang final, melainkan selalu dalam proses “menjadi”. Oleh sebab itu pengembangan diri dan pembelajaran terus-menerus merupakan kewajiban bagi seluruh umat Hindu di Jawa agar agama Hindu selalu kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, Kearifan-kerifan lokal (local genious) Jawa perlu dikembangkan untuk merekontekstualisasi ajaran-ajaran agama Hindu sejalan dengan kebudayaan Jawa, sehingga agama mampu menyentuh sisi terdalam dari manusia, yaitu kemanusiaannya.  Mengingat ajaran agama adalah ngelmu (dharma) yang harus diwujudkan dalam bentuk laku, atau disiplin tindakan.  Ketiga, berbagai perbedaan pandangan yang berkembang di dalam tubuh umat Hindu hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan ketegangan dan tetap dalam prinsip keseimbangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta. Pustaka Jaya.

Beatty, Andrew. (2001). Variasi Agama di Jawa. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Berger, Peter L. 1994. The Secret Canopy. Terjemahan Hartono, Jakarta: LP3ES

Dharmaputra, Eka. 1987. Pancasila: Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Glencoe,III. The free Press.

Geria, I Wayan. (2000). Transformasi Kebudayaan Bali memasuki Abad XXI. Percetakan Bali. Denpasar.

Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press.

Kahmad, Dadang, H, 2000, Sosiologi Agama, Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.

Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.

Liliweri, Prof. Dr. Alo, M.S. 2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.

Majumdar, RC. 1998. Ancient India. New Delhi: Delhi University Press

Phalgunadi, I Gusti Putu. 2005. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu. Denpasar. Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan.

Prijohutomo. 1959. Kebudayaan Hindu di Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters-Groningen.

Robertson, Roland, 1988, Agama: Dalam Analisas dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: Rajawali.

Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta. Kanisius.

Subaya, Rahmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Qalam.

Sutrisno, Nanang. 2006. Bangga Menjadi Hindu di Jawa. Artikel. Disampaikan dalam Dharma Thula serangkaian upacara Melasti di Pura Segara Tawang Alun, Pesanggaran, Banyuwangi.

Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 1990. Munculnya Kelas Baru dan Dewangsanisasi: Transformasi Ekonomi dan Perubahan Sosial di Bali. Tesis. Yogyakarta: UGM.

Utama, I Wayan Budi. 2003. Hindu Bali, Hindu Nusantara dan Hindu India. Makalah disampaikan dalam penyegaran dan pelatihan Dharmaduta 22-24 Juni 2003. Denpasar.

« Newer Posts - Older Posts »

Kategori